Kata Sunda artinya
Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur
kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai
jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur
(sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/
cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang
Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000
tahun.
Sunda merupakan
kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan
berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku,
bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai
dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan
Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan
Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak
melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan
Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya
Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon,
Kerajaan Banten, dll.
Kronologi Sejarah
Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda
(669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa
pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal
dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah
yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan
bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah
kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik,
seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di
Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas
Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali",
sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali
Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513)
dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas
wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang
menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang
lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya
adalah Ci Manuk.'
Menurut Naskah
Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi
Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung.
Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Hubungan Kerajaan
Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda
sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris,
Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik
dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani
Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan
gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan
memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari
Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sejarah
Sebelum berdiri
sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja
Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa
Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah
dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua
anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan
Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan
Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang
mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan
melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut
sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih
adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9
Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan
Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di
sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa
yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan
seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi
oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang
Tamperan.
Ibu dari Sanjaya
adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya
adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan
Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta
pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara
/ Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan
Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan
Purbasora.
Saat Tarusbawa
meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di
tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun 732 Sanjaya
menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban.
Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang
kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran /
Rakai Panangkaran.
Rahyang Tamperan /
RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu
membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut
Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu
Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi
hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan
Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang,
yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan
gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya
perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan
Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang
menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan
Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas
jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara)
yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus,
kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera
dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya
saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia.
Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu
Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan
Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh
tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini
lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN
KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut
oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
RAKRYAN JAYAGIRI
berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan
Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan dendam
orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera
Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana,
kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa
(964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut
jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri
mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan
oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan
diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri
Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh
dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari Sri
Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu
ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi
dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya,
Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122
tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran,
kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal
Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan
Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303).
Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang
berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi,
Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan,
Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa
(1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu
Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa
(1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat).
Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan
Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Prasasti Kawali di
Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu
Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana,
yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay
Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang
diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai
saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur
Dari Nay Ratna
Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu
Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan
Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra
Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan
Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga
Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543),
Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya
atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh
pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun
1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran
runtuh.
Sebelum Kerajaan
Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk
membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama-
sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.
Kerajaan Sumedang
Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang
didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan
zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang
pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan
Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke
Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.
Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian
pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”.
Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun
Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi
Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah
pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya.
Pemerintahan
berdaulat
Prabu Agung Resi
Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi
Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok
berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung
dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya
tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang
Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu
Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi
wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu,
Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi
raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung
Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa
muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau
membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah
dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus
mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi
raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar
memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang
diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu
Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan
Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah
Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di
Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri
Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke
Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan
Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra
tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu
Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan
Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan
gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun
menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati
Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu
Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena
asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan
tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai
menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan
Pangeran Santri
Pada pertengahan
abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang
merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang
bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta
menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari
Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi,
seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan
agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran
Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan
Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang
dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun
(1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri.
Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang
letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung,
Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang
pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial,
budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I,
yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal
pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam
masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan
Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu
Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu
Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan
tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat
Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante
tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung
bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan,
dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si
Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang
Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu
itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi
mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada
Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan
menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang
Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah
timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah
utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik
Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang
merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai
pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu
rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan
Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram.
Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung
dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan
Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja
turun menjadi adipati (bupati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar